Tentang Menulis

Tentang Menulis...

Menulis. Hobiku sejak masih di bangku Sekolah Dasar. Waktu itu, aku hanya membuat Cerita Pendek (cerpen) saja, dan entah di mana sekarang potongan-potongan kertas itu. Genre yang kutangani pun masih sederhana. Bukan tentang cinta. Aku lebih menyukai cerita tentang “keluarga bahagia”. Ah, kupikir dengan begitu, sekaligus
menghibur diriku sendiri.
Aku tak pernah berpikir untuk mengikuti lomba, mengirimkan naskah, atau apalah itu seperti bayanganku sekarang. Aku hanyalah anak yang tinggal di sebuah desa di kota kelahiran bapakku. Kota kecil. Tepatnya bukan di kota sih, tetapi di kabupaten. Kabupaten Blitar. Aku masih lugu. Menyukai permainan desa dengan teman-teman adalah aktivitasku dulu. Coba, masih adakah anak-anak sekarang yang tau permainan tradisional? Kupikir, hanya segelintir anak. Itupun pasti anak dari desa yang jauh dari kemewahan yang ada di kota-kota, yang tak asing dengan gadget. Aku seperti anak yang sudah “bahagia” kala itu.
Kaupikir aku bahagia? Bertaruhlah denganku pasti kuberani taruhan, TIDAK. Itu yang aku rasakan. Yang aku alami. Hanya menulis di sebuah buku kusamku dulu, aku dapat menyendiri. Tetapi dengan alasan belajar. Ya, berbohong sedikit sih. Dan, aku gemar menciptakan fantasi bahwa aku memiliki keluarga yang sangat bahagia. Lengkap dengan Ibu dan Bapak, serta adikku. Kami selalu menghabiskan libur minggu kami dengan canda dan tawa, berekreasi seperti teman-temanku lain. Ah, lagi-lagi aku sedang menulis. Kapan ya, aku bisa seperti itu?
Kautahu, bapakku hanyalah seorang tukang. Beliau bekerja untuk temannya, membuat beberapa pintu, jendela, meja, lemari, dan lain-lain. Kadang, jika salah seorang tetangga atau temannya membutuhkan bantuan untuk menjadi kuli bangunan, bapakku sanggup. Hebat, bukan? Rumah yang kutempati sekarang kautahu, itu hasil kerja tangan bapak dan ibuku. Ya, kecuali bagian atapnya membutuhkan bantuan orang lain. Hehe.
Semenjak ibu pergi meninggalkan aku dan seisi rumahku, rumah menjadi sepi. Baiklah, awalnya aku tak mengerti kenapa, untuk apa, kemana ia pergi. Setelah aku menginjak kelas 6 SD, barulah aku paham. Uh, betapa aku sangat menyayanginya. Aku rindu padanya. Andai Tuhan tahu, aku yakin Dia tahu, bahwa aku lemah di hadapan adikku. Bagaimana mungkin usia adikku yang masih 6 tahun harus lepas dari kasih sayang? Ah, aku tak bisa bayangkan sekarang. Aku sudah lupa! Tepatnya, aku tak mau mengingatnya.
Berawal dari pengetahuanku tentang itu semua, aku lekas mengenal apa itu sastra puisi. Aku membuat puisi. Aku jatuh cinta dengan puisi. Meskipun kosa kataku masih abal-abal. Aku belum mengenal majas metafora, majas personifikasi, majas-majas apalah itu namanya. Belum! Tapi aku sangat gembira membaca hasil karyaku. Bangga.
Seperti yang kautahu aku adalah anak desa. Aku melakukan hobiku ini atas dasar suka. Ini seperti mengajak angin yang semilirnya sangat lembut untuk berdansa denganku. Menarik kisahku ke dalam puisi yang lebih indah dari sekadar denotasi kata. Seolah setiap frasa menyembuhkan goresan luka kelam. Ah!
Sampai aku bosan, lelah dengan semuanya. Aku berhenti! Aku membencinya. Atas dasar apa kauberhenti, hah? Kau tak perlu tahu. Aku hanya bosan. Kutebak pasti CINTA.
Aku diam. Bisa jadi sih. Mungkin karena itulah aku menjadi fokus ke sekolahku. Aku sudah menatap bangku kelas tiga, dan itu artinya sebentar lagi Ujian Nasional! Baik, baiklah. Aku menyerah pada ribuan kata-kata di genggamanku saat itu. Meninggalkannya adalah keputusan baik. Ya, kupikir seperti itu.
Kapan kembali menulis?
Kukembali menulis ketika kembali jatuh cinta. Haha! Kedengarannya tidak lucu, tapi menurutku lucu. Aneh. Ketika itu, roman-roman kebahagiaan seperti sedang mengitari setiap nafasku. Aku mengenalnya. Simpati padanya. Sederhana, ramah, murah senyum, sopan, dan satu hal dari dia; he’s like chinese. Aaaaahhh... Aku suka padanya!
Kautahu, cinta itu terkadang tak seindah di FTV, selalu berakhir bahagia. Kalau di FTV, ketika sang pecinta mengatakan cintanya hanyalah bertepuk sebelah tangan, tapi sang sutradara dengan gampangnya menjadikan ending begitu indah. Sang lawan cintanya pun lama-lama akan tahu siapa yang pantas dicinta. Dan singkatnya, mereka bahagia. Trus kamu gimana?
Well, jangan tanya aku. Aku sedang tidak di layar televisi. Ini kenyataan. Dan aku menikmati setiap scene yang Sutradara (baca: Tuhan) rancang. Menyakitkan, but this is love. Hehe. Sampai-sampai, ceritaku ini aku jadikan sebuah cerpen. Tak sampai segitu saja, aku kirimkan ke redaksi Pioneer (majalah sekolah), dan... Jreeeeng! Semua seakan mengkerutkan dahinya. Siapa? Siapa? Siapa?
Menarik sekali. Aku berasa seperti artis. Setiap ada yang lewat, “Hei! Cerpenmu bagus, buat siapa sih? Kayanya numpang curhat deh!” Aku hanya tertawa cekikikan mendengarnya. “Hei! Aku tahu itu buat siapa? But well, bagus, tapi berantakan!” Eits, iya juga sih. Gimana tidak berantakan, aku dikejar deadline.
Biarlah tiga tahun ini kujadikan pelajaran. Biarlah... Semenjak naskahku terbit di majalah, aku semakin bersemangat menulis. Aku ikuti event yang kutemukan di forum menulis, Internet, dan media lain. Ya, belum pernah tembus seperti yang diangankan, tapi kepuasan sendiri itu ada. Hampir lebih dua tahun kulakoni. Hingga tahun terakhir, di bangku kelas tiga, yang namanya Ujian Nasional itu selalu menjadi penghalang. Hari-hariku berganti menjadi pejuang pendidikan. Pagi pergi ke sekolah, siang harus ikut pendalaman, sorenya meluncur ke bimbel. Terus saja seperti itu.
Kuliah! Kuliah! Kuliah!
Aku harus kuliah. Apapun aku lakukan untuk bisa menempuhnya. Walaupun PTN belum ada yang bisa menerimaku, aku bersyukur Universitas Muhammadiyah Yogyakarta telah menerimaku di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
I’m changing, without leaving the real me. I’m still myself.
Tekadku untuk belajar menjadi lebih dewasa, meskipun teman-teman masih menganggapku seperti anak kecil. Apa mungkin aku terlalu ceriwis? Ini aku apa adanya. Diriku sendiri. Tak ada yang salah, bukan?
Hingga aku memutuskan untuk berhijrah. Well, aku tak mau mengatakan apa maksud berhijrah, karena kaupasti tahu itu. Sulit. Ini sulit, ini bukan aku. Bukan sebenarnya aku. Baiklah, ini demi Tuhanku. Pelan-pelan...
Aku kembali! Aku tak ingin sembunyi. Aku akan tetap menjadi diriku sendiri. Mungkin, hanya luarku saja. Biarlah! Biar kata orang menilaiku. Sesungguhnya aku tidak ingin menjadi manusia bertopeng. Tuhan, maukah Engkau menerimaku, hamba yang berhijrah masih setengah-setengah?
Terlepas gejolak yang tak menentu perihal pilihanku, CINTA, lagi-lagi dia datang menjemputku. Hadir di sekitarku. Menyentuh bagian terdalam rasaku.
Dia. Kau pasti tahu siapa dia. Dia adalah orang yang tiba-tiba memikatku. Aku tak tahu kenapa dia selalu hadir di mimpiku. Apa karena kita sering bersama? Ini cinta, apakah hanya sekedar perasaan butuh? Aku butuh untuk berada di dekatnya. Nyaman berlama-lama dengannya. Canda tawanya tak bisa lepas. Senyum jeleknya menggelitik perutku sekali-kali. Dia, oh dia!
Mengapa dia memilih untuk menjauh? Apa salahku? Menyakitkan, ketika kautahu dia mengabaikan kebiasaan-kebiasaan kita. Aku tahu, aku tak memiliki hak untuk mengaturnya. Ini haknya! Tapi... Seharusnya dia mengerti perasaanku.
Entah apa yang aku tulis, apa temanya, semua pasti berkenaan dengan diriku dan hidupku. Semua aku poles dengan fiksi. Aku samarkan agar menjadi semi-fiksi. Agar tak ada satu orangpun tahu bahwa sebagian ceritaku adalah fakta. Adalah nyata.
Sekarang tentang menulis, kelihatannya aku terbuai dengan keinginan dunia yang tak bisa kukendali. Aku meninggalkan menulis. Aku lupa cara menulis. Aku lupa cara berpuisi. Bahkan, tanganku tak lagi lihai menari di atas kertas dengan tintanya yang hitam lekat di atasnya. Jika kaupikir aku senang bersentuhan dengan keyboard laptopku, itu salah. Dulu, sebelum kumengenal teknologi, dua hal penting yang aku punya; buku dan pulpen. Cerpen persembahan untuk seseorang di masa sekolahku pun aku mengarangnya di atas kertas.
Maafkan aku. Aku bersalah pada diriku sendiri. Aku jauh dari rajin. Aku mendahulukan egoku untuk bergalau-ria dengan suasana hening di malam-malamku daripada mengeluarkan deretan kata-kata bernilai. Dan, itu semua karena pria yang sedang menghindariku. Karena CINTA. Kenapa tak kaucoba usir apa itu CINTA? Kaubodoh? Tidak semudah itu. Sedang dia masih hadir di bagian hidupku. Mungkin saja, tapi aku yakin pasti sulit.
Malam, ceritakan keluh kesahku pada Tuhan. Lalu, bila kausampai pada-Nya, mohonkan ampunku. Ampun atas kelalaian pada kesempatan yang Dia beri. Ini khilafku, dan salahku...
Kunang-kunang, terbanglah ke arah barat yang lagi pekat tak bercahaya. Temui dia, sang pemberi cinta. Sampaikan salam padanya. Salam atas nama cinta. Peluklah dia dengan kehangatan, angin. Antarkan dia ke sebuah jalan di sana: jalan menuju mimpi. Bisikkan padanya, bahwa aku akan segera hadir bersamanya. Di dalam mimpi, dan akulah sutradaranya.
Tulisanku tak seindah penulis profesional ataupun sang pujangga cinta. Karena aku masih lupa bagaimana cara menulis. Aku masih lupa menjadi diriku. Aku, Harti Mawarni Putri.

Harti Mawarni Putri
Blitar, 11/08/14

Finished 9.10 p.m.

Share:

0 comments

Tulisan saya adalah pikiran saya. Powered by Blogger.

Tentang Menulis

0 comments
Tentang Menulis...

Menulis. Hobiku sejak masih di bangku Sekolah Dasar. Waktu itu, aku hanya membuat Cerita Pendek (cerpen) saja, dan entah di mana sekarang potongan-potongan kertas itu. Genre yang kutangani pun masih sederhana. Bukan tentang cinta. Aku lebih menyukai cerita tentang “keluarga bahagia”. Ah, kupikir dengan begitu, sekaligus
menghibur diriku sendiri.
Aku tak pernah berpikir untuk mengikuti lomba, mengirimkan naskah, atau apalah itu seperti bayanganku sekarang. Aku hanyalah anak yang tinggal di sebuah desa di kota kelahiran bapakku. Kota kecil. Tepatnya bukan di kota sih, tetapi di kabupaten. Kabupaten Blitar. Aku masih lugu. Menyukai permainan desa dengan teman-teman adalah aktivitasku dulu. Coba, masih adakah anak-anak sekarang yang tau permainan tradisional? Kupikir, hanya segelintir anak. Itupun pasti anak dari desa yang jauh dari kemewahan yang ada di kota-kota, yang tak asing dengan gadget. Aku seperti anak yang sudah “bahagia” kala itu.
Kaupikir aku bahagia? Bertaruhlah denganku pasti kuberani taruhan, TIDAK. Itu yang aku rasakan. Yang aku alami. Hanya menulis di sebuah buku kusamku dulu, aku dapat menyendiri. Tetapi dengan alasan belajar. Ya, berbohong sedikit sih. Dan, aku gemar menciptakan fantasi bahwa aku memiliki keluarga yang sangat bahagia. Lengkap dengan Ibu dan Bapak, serta adikku. Kami selalu menghabiskan libur minggu kami dengan canda dan tawa, berekreasi seperti teman-temanku lain. Ah, lagi-lagi aku sedang menulis. Kapan ya, aku bisa seperti itu?
Kautahu, bapakku hanyalah seorang tukang. Beliau bekerja untuk temannya, membuat beberapa pintu, jendela, meja, lemari, dan lain-lain. Kadang, jika salah seorang tetangga atau temannya membutuhkan bantuan untuk menjadi kuli bangunan, bapakku sanggup. Hebat, bukan? Rumah yang kutempati sekarang kautahu, itu hasil kerja tangan bapak dan ibuku. Ya, kecuali bagian atapnya membutuhkan bantuan orang lain. Hehe.
Semenjak ibu pergi meninggalkan aku dan seisi rumahku, rumah menjadi sepi. Baiklah, awalnya aku tak mengerti kenapa, untuk apa, kemana ia pergi. Setelah aku menginjak kelas 6 SD, barulah aku paham. Uh, betapa aku sangat menyayanginya. Aku rindu padanya. Andai Tuhan tahu, aku yakin Dia tahu, bahwa aku lemah di hadapan adikku. Bagaimana mungkin usia adikku yang masih 6 tahun harus lepas dari kasih sayang? Ah, aku tak bisa bayangkan sekarang. Aku sudah lupa! Tepatnya, aku tak mau mengingatnya.
Berawal dari pengetahuanku tentang itu semua, aku lekas mengenal apa itu sastra puisi. Aku membuat puisi. Aku jatuh cinta dengan puisi. Meskipun kosa kataku masih abal-abal. Aku belum mengenal majas metafora, majas personifikasi, majas-majas apalah itu namanya. Belum! Tapi aku sangat gembira membaca hasil karyaku. Bangga.
Seperti yang kautahu aku adalah anak desa. Aku melakukan hobiku ini atas dasar suka. Ini seperti mengajak angin yang semilirnya sangat lembut untuk berdansa denganku. Menarik kisahku ke dalam puisi yang lebih indah dari sekadar denotasi kata. Seolah setiap frasa menyembuhkan goresan luka kelam. Ah!
Sampai aku bosan, lelah dengan semuanya. Aku berhenti! Aku membencinya. Atas dasar apa kauberhenti, hah? Kau tak perlu tahu. Aku hanya bosan. Kutebak pasti CINTA.
Aku diam. Bisa jadi sih. Mungkin karena itulah aku menjadi fokus ke sekolahku. Aku sudah menatap bangku kelas tiga, dan itu artinya sebentar lagi Ujian Nasional! Baik, baiklah. Aku menyerah pada ribuan kata-kata di genggamanku saat itu. Meninggalkannya adalah keputusan baik. Ya, kupikir seperti itu.
Kapan kembali menulis?
Kukembali menulis ketika kembali jatuh cinta. Haha! Kedengarannya tidak lucu, tapi menurutku lucu. Aneh. Ketika itu, roman-roman kebahagiaan seperti sedang mengitari setiap nafasku. Aku mengenalnya. Simpati padanya. Sederhana, ramah, murah senyum, sopan, dan satu hal dari dia; he’s like chinese. Aaaaahhh... Aku suka padanya!
Kautahu, cinta itu terkadang tak seindah di FTV, selalu berakhir bahagia. Kalau di FTV, ketika sang pecinta mengatakan cintanya hanyalah bertepuk sebelah tangan, tapi sang sutradara dengan gampangnya menjadikan ending begitu indah. Sang lawan cintanya pun lama-lama akan tahu siapa yang pantas dicinta. Dan singkatnya, mereka bahagia. Trus kamu gimana?
Well, jangan tanya aku. Aku sedang tidak di layar televisi. Ini kenyataan. Dan aku menikmati setiap scene yang Sutradara (baca: Tuhan) rancang. Menyakitkan, but this is love. Hehe. Sampai-sampai, ceritaku ini aku jadikan sebuah cerpen. Tak sampai segitu saja, aku kirimkan ke redaksi Pioneer (majalah sekolah), dan... Jreeeeng! Semua seakan mengkerutkan dahinya. Siapa? Siapa? Siapa?
Menarik sekali. Aku berasa seperti artis. Setiap ada yang lewat, “Hei! Cerpenmu bagus, buat siapa sih? Kayanya numpang curhat deh!” Aku hanya tertawa cekikikan mendengarnya. “Hei! Aku tahu itu buat siapa? But well, bagus, tapi berantakan!” Eits, iya juga sih. Gimana tidak berantakan, aku dikejar deadline.
Biarlah tiga tahun ini kujadikan pelajaran. Biarlah... Semenjak naskahku terbit di majalah, aku semakin bersemangat menulis. Aku ikuti event yang kutemukan di forum menulis, Internet, dan media lain. Ya, belum pernah tembus seperti yang diangankan, tapi kepuasan sendiri itu ada. Hampir lebih dua tahun kulakoni. Hingga tahun terakhir, di bangku kelas tiga, yang namanya Ujian Nasional itu selalu menjadi penghalang. Hari-hariku berganti menjadi pejuang pendidikan. Pagi pergi ke sekolah, siang harus ikut pendalaman, sorenya meluncur ke bimbel. Terus saja seperti itu.
Kuliah! Kuliah! Kuliah!
Aku harus kuliah. Apapun aku lakukan untuk bisa menempuhnya. Walaupun PTN belum ada yang bisa menerimaku, aku bersyukur Universitas Muhammadiyah Yogyakarta telah menerimaku di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
I’m changing, without leaving the real me. I’m still myself.
Tekadku untuk belajar menjadi lebih dewasa, meskipun teman-teman masih menganggapku seperti anak kecil. Apa mungkin aku terlalu ceriwis? Ini aku apa adanya. Diriku sendiri. Tak ada yang salah, bukan?
Hingga aku memutuskan untuk berhijrah. Well, aku tak mau mengatakan apa maksud berhijrah, karena kaupasti tahu itu. Sulit. Ini sulit, ini bukan aku. Bukan sebenarnya aku. Baiklah, ini demi Tuhanku. Pelan-pelan...
Aku kembali! Aku tak ingin sembunyi. Aku akan tetap menjadi diriku sendiri. Mungkin, hanya luarku saja. Biarlah! Biar kata orang menilaiku. Sesungguhnya aku tidak ingin menjadi manusia bertopeng. Tuhan, maukah Engkau menerimaku, hamba yang berhijrah masih setengah-setengah?
Terlepas gejolak yang tak menentu perihal pilihanku, CINTA, lagi-lagi dia datang menjemputku. Hadir di sekitarku. Menyentuh bagian terdalam rasaku.
Dia. Kau pasti tahu siapa dia. Dia adalah orang yang tiba-tiba memikatku. Aku tak tahu kenapa dia selalu hadir di mimpiku. Apa karena kita sering bersama? Ini cinta, apakah hanya sekedar perasaan butuh? Aku butuh untuk berada di dekatnya. Nyaman berlama-lama dengannya. Canda tawanya tak bisa lepas. Senyum jeleknya menggelitik perutku sekali-kali. Dia, oh dia!
Mengapa dia memilih untuk menjauh? Apa salahku? Menyakitkan, ketika kautahu dia mengabaikan kebiasaan-kebiasaan kita. Aku tahu, aku tak memiliki hak untuk mengaturnya. Ini haknya! Tapi... Seharusnya dia mengerti perasaanku.
Entah apa yang aku tulis, apa temanya, semua pasti berkenaan dengan diriku dan hidupku. Semua aku poles dengan fiksi. Aku samarkan agar menjadi semi-fiksi. Agar tak ada satu orangpun tahu bahwa sebagian ceritaku adalah fakta. Adalah nyata.
Sekarang tentang menulis, kelihatannya aku terbuai dengan keinginan dunia yang tak bisa kukendali. Aku meninggalkan menulis. Aku lupa cara menulis. Aku lupa cara berpuisi. Bahkan, tanganku tak lagi lihai menari di atas kertas dengan tintanya yang hitam lekat di atasnya. Jika kaupikir aku senang bersentuhan dengan keyboard laptopku, itu salah. Dulu, sebelum kumengenal teknologi, dua hal penting yang aku punya; buku dan pulpen. Cerpen persembahan untuk seseorang di masa sekolahku pun aku mengarangnya di atas kertas.
Maafkan aku. Aku bersalah pada diriku sendiri. Aku jauh dari rajin. Aku mendahulukan egoku untuk bergalau-ria dengan suasana hening di malam-malamku daripada mengeluarkan deretan kata-kata bernilai. Dan, itu semua karena pria yang sedang menghindariku. Karena CINTA. Kenapa tak kaucoba usir apa itu CINTA? Kaubodoh? Tidak semudah itu. Sedang dia masih hadir di bagian hidupku. Mungkin saja, tapi aku yakin pasti sulit.
Malam, ceritakan keluh kesahku pada Tuhan. Lalu, bila kausampai pada-Nya, mohonkan ampunku. Ampun atas kelalaian pada kesempatan yang Dia beri. Ini khilafku, dan salahku...
Kunang-kunang, terbanglah ke arah barat yang lagi pekat tak bercahaya. Temui dia, sang pemberi cinta. Sampaikan salam padanya. Salam atas nama cinta. Peluklah dia dengan kehangatan, angin. Antarkan dia ke sebuah jalan di sana: jalan menuju mimpi. Bisikkan padanya, bahwa aku akan segera hadir bersamanya. Di dalam mimpi, dan akulah sutradaranya.
Tulisanku tak seindah penulis profesional ataupun sang pujangga cinta. Karena aku masih lupa bagaimana cara menulis. Aku masih lupa menjadi diriku. Aku, Harti Mawarni Putri.

Harti Mawarni Putri
Blitar, 11/08/14

Finished 9.10 p.m.