Bapakku, laki-laki tangguh yang kumiliki. Engkau yang tengah menyapu keringatmu sehabis memikul beban pekerjaanmu. Merebahkan bahumu sejenak untuk melepas rasa sakit di pinggangmu. Beberapa suap nasi yang kaumakan, tak seberapa dengan apa yang kumakan di sini, tempat merantauku pula. Bahkan, nasiku jauh lebih enak dari nasimu. Laukku terkadang lebih enak dari laukmu. Dan aku hanya mengeluh tentang sayur, menu sehatmu dulu. Saat kaumasih bisa memaksaku memakannya. Saat kita membentuk lingkaran menikmati nikmat Tuhan. Bersama. Menikmati petang. Tentu saja, ketika kausudah mengadu kepada sang Pencipta. Lama, serasa kaubertemu Dia. “Makanan apa yang kaumakan? Sudah makan? Sama apa?” Kaumenanyakan semua itu padaku, padahal kausendiri belum menanyakannya pada dirimu sendiri. Kaumemintaku, menyuruhku makan minimal dua kali sendiri, padahal kau tidak menyuruh dirimu sendiri untuk melakukan hal yang sama. Bapak, berjanjilah, lakukan hal yang sama denganku.
Bapakku, yang sedang melihat lepas semesta di langit tanpa benda empuk yang kududuki sekarang, tunjuk satu bintang itu, pak. Pilihlah semaumu. Kauboleh meminta yang paling terang, bahkan lebih terang dari bulan yang sedang sembunyi saat ini. Mana saja. Aku sedia mengambilnya, meraihnya untukmu. Agar kau merasa bahwa tempatmu begitu terang seperti tempatku di sini. Tempat yang kecil pula, tapi tak seberapa dari tempatmu yang takbisa kudeskripsikan. Lepas itu, kauakan nyaman di sana dan tak kuatir lagi akan penglihatanmu yang mulai memudar.
Bapakku, yang sedang berselimut angin, rekatkan kedua telapak tanganmu. Gesekkan keduanya dan carilah kehangatan di sana. Tiuplah tangan itu, dan kauakan hangat. Pakailah jaket tebal satu-satunya yang kaupunya. Aku tak ingin kau masuk angin, karena aku taklagi bisa menggosok punggungmu dengan minyak angin. Teringat kaumemaksaku mengenakan selimut di setiap tidurku, selimut tebal—lebih tebal dari jaketmu—tapi aku selalu enggan. Dan kini tetap sama, selimut ini tak pernah kukenakan karena kaujauh membutuhkannya daripada aku. Tempatku masih hangat tanpa benda itu. Aku masih nyenyak di kasurku, tapi sehari-hari kau memaksakan tidurmu nyenyak tanpa alas. Dan kauselalu berharap esok segera datang dan segera meniti, menemui jalan-pencari-uang.
Bapakku, lelaki dermawan di keluargaku, kautak pernah menikmati hasil jerih payahmu sendiri. Ketika yang kaucari sudah ada di tanganmu, kaulangsung meraihnya dan menyimpannya untuk kami. Bahkan di sana, kautak butuh itu semua. Kau takmemegang sebanyak yang kami terima. Kau berikan semua itu pada kami. Lantas, kami gunakan untuk menyambung hidup, lebih layak. Bahkan lebih layak di sini ketimbang di sana. Bapak, berjanjilah, jangan manjakan kami terlalu sering. Sesering hingga kaulupa badanmu yang dulu gagah.
Bapakku, yang sedang presensi kepada sang Khalik, kauselalu menyelipkan nama anakmu ini, adikku, istrimu, dan orang tuamu. Kaumengingatku setiap hari, setiap semangat hidupmu selalu menemani. Kaubilang, “Bapak hanya ingin melihatmu dan adikmu bisa mencapai cita-cita yang kamu harapkan dan perjuangkan.” Ah, tapi kaumemperjuangkan segalanya. Kaumembanting tulangmu. Hingga setiap hari kau butuh punggungmu direbahkan.
Bapakku, kutahu kaujengkel padaku saat kumulai tak peduli padamu. Saat kulupa, keasyikan dengan kawan-kawanku. Padahal, kauhanya memintaku untuk menanyakan kabarmu, dan kaumembalasnya dengan jawaban “Alhamdulillah”. Singkat. Namun cukup yang kaumau. Bapak, aku juga tahu kalau kaumenyimpan amarah kecil pada kami, maafkan kami, maafkan dia. Tetap cintai dan sayangi kami, dan cintai dia. Engkau pemimpin keluargaku, tegurlah. Tegurlah aku ketika kumulai luput.
Bapakku, kutahu apa yang kaurasakan saat ini. Musibah datang bukan tanpa alasan. Dia datang karena sedang menguji. Kutahu, aku sangat tahu kaumarah. Namun, jangan marahi dia. Jangan ucapkan kata-kata yang menyakiti hatinya. Kau lebih tahu hati kami.
Bapakku, Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang sabar menerima cobaan. Allah menjanjikan segalanya yang lebih indah dari hari ini. Sabarlah. Sabarlah dengan anakmu ini, sabarlah dengan adikku, sabarlah dengan istrimu, dan sabarlah dengan ujian hidup. Bapak, aku hanya bisa berjuang di sini; menuntut ilmu dan mencapai hasilnya. Aku juga hanya bisa merangkai do’a di setiap ibadahku. Semoga Allah melindungimu, menyertakan nikmat kesehatan. Nikmat-nikmat Allah yang tak tertandingi. Allohummaghfirlii dzunubii waliwalidayya warkhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiro.